11 Feb KEBAYA PAKEM VERSUS KEBAYA KONTEMPORER
Penulis : Indiah Marsaban, Tim Nasional Kebaya Indonesia, Pegiat Kebaya
KONSEP ACARA
Dalam agenda Workshop persiapan pengisian dossier nominasi bersama kebaya ke UNESCO, yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek, selain ada kegiatan presentasi dan diskusi antar-negara peserta pada pagi hingga siang hari tanggal 7 Februari, Kemendikbudristek sebagai tuan rumah memberikan kesempatan kepada Tim Nasional Kebaya Indonesia untuk berpartisipasi mengisi acara dalam rangkaian workshop tersebut. Untuk itu, maka dibentuklah panitia penyelenggara yang terdiri dari teman-teman komunitas pecinta kebaya dari 14 komunitas.
Dalam beberapa kali rapat panitia, telah disepakati konsep acara untuk sore itu (yang hanya sekitar 2 jam saja mulai pukul 15.30-17.30) akan berupa gelar wicara (talk show) dan mini fashion show serta exhibition aneka kebaya berikut pameran pernak-perniknya. Dalam urun rembug menentukan tema acara, saya mengusulkan tema induknya adalah COLLABORATING TO SAFEGUARD THE KEBAYA karena upaya menominasikan kebaya ke UNESCO adalah kolaborasi antara lima negara Asia Tenggara. Mengingat acara ini dihadiri oleh tamu delegasi dari Malaysia, Singapore, dan Thailand maka talk show ini menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Jumlah target undangan sekitar 150 orang dari berbagai kalangan organisasi perempuan pecinta budaya.
Gelar wicaraini bertujuan untuk menjelaskan beberapa kebaya tradisional Indonesia dan kebaya kontemporer, sambil menampilkan model yang memperagakan kebaya yang diulas oleh para narasumber. Sub tema gelar wicara yang diusung adalah: “SAFEGUARDING THE TRADITION OF KEBAYA FOR FUTURE GENERATIONS”. Tiga narasumber yang dipilih sebagai pembicara adalah desainer senior, Musa Widyatmodjo dan desainer muda, Lenny Agustin yang mewakili generasi muda dan saya sebagai wakil dari komunitas kebaya.
Pada acara bincang-bincang ini, yang dipandu oleh moderator Tiya Diran (presenter TV), topik yang diangkat antara lain mengenai kebaya tradisional yang mengikuti “pakem” dan kebaya kontemporer yang merupakan produk fashion. Dalam talk show ini ditampilkan ragam kebaya tradisional dan kebaya kontemporer yang diperagakan oleh berbagai model antara lain Cathy Sharon, Titi Radjo, dan model-model cantik lainnya. Ada satu model cilik yang menarik perhatian saya yang bernama lengkap Raffaela Evbadazehi Christy Akinyemi, siswi kelas 7 SMP Negeri 4 Depok. Nyemi (nama panggilannya) yang berpostur ideal sebagai model remaja, adalah keturunan Afrika, berambut kriting, berkulit gelap, cantiknya sangat eksotik dan konon sudah menjadi model internasional. Nyemi, sesuai umurnya, menjadi model untuk kebaya kontemporer karya Lenny Agustin.
Sedangkan kebaya tradisional yang ditampilkan adalah kebaya Kutubaru, kebaya Kartini berbahan bludru, kebaya Noni berwarna putih dan berenda, kebaya Bali dari Karang Asem dengan kain grinsing, kebaya Kutubaru yang dipadupadankan dengan kain tenun NTT, kebaya Labuh dari provinsi Riau, dan kebaya Kerancang yang dihiasi bordir dari provinsi DKI.
Kembali ke talk show, dalam pemaparannya, mas Musa Widyatmodjo mengatakan bahwa pemakaian kebaya yang mengikuti pakem harus dilihat konteksnya apakah dikaitkan dengan tradisi. Jika iya, maka harus konsisten dan konsekuen mengikuti pakem. Namun menurut mas Musa, lebih lanjut, bahwa desain kebaya kontemporer yang terinspirasi oleh kebaya tradisional tidak juga salah, karena kebaya kontemporer bukan untuk dipakai dalam konteks tradisi. Mas Musa kemudian menunjukkan kebaya-kebayanya yang telah melalui proses “alteration” (mengubah bentuk, lebih longgar, lebih pendek atau panjang misalnya), atau proses “embellishment” (penambahan manik-manik, renda, hiasan aplikasi bunga dll), atau modification (mengubah bentuk siluet) atau dekonstruksi (renovasi) suatu kebaya seperti yang dilakukan oleh desainer muda, Lenny Agustin.
Lenny dalam penjelasannya mengatakan bahwa produk kebaya yang dia desain adalah fashion statement yang memang terinspirasi oleh kebaya karena masih mengikuti garis pola dasar suatu kebaya yang melalui proses alteration, embellishment dan modification sebagaimana yang dijelaskan oleh mas Musa. Lenny Agustin menegaskan kembali bahwa kebaya yang dia rancang bukan kebaya tradisional tetapi sebagai ekspresi fashion item. Menurut Lenny -yang target marketnya adalah generasi muda- diharapkan dengan mengenal kebaya kontemporer ini, anak-anak muda akan mulai suka memakai kebaya dan pada waktunya akan tergerak juga untuk lebih mengenal kebaya tradisional.
Dalam membahas soal kebaya, saya pun selaras dengan pendapat mas Musa yang membagi kebaya dalam dua kategori besar, yakni kebaya tradisional dan kebaya kontemporer. Bahwa kebaya tradisional dengan pakemnya harus dijaga sesuai konteks, saya mendukung dilakukan “safeguarding the kebaya” dan saya sampaikan juga bahwa literasi tentang kebaya Indonesia masih sangat terbatas, dibandingkan buku tentang batik yang jauh lebih banyak tersedia. Oleh karena itu, saya menghimbau agar siapapun yang mau dan mampu melakukan riset dan kajian yang komprehensif mengenai kebaya di Indonesia, supaya segera bergerak melakukan kajian tentang kebaya. Saat ini, saya tahu bahwa mbak Miranti Serad sedang proses menyusun buku tentang kebaya Indonesia yang nanti diharapkan menambah khazanah literasi tentang kebaya yang masih langka tersedia.
Saya sampaikan bahwa di satu sisi kita harus menjaga kebaya tradisional, tetapi di sisi lain kita juga perlu memberi ruang untuk berkembangnya budaya kebaya, karena merupakan living culture yang dinamis sesuai masyarakat yang “menghidupi” budaya tersebut.
Terakhir dalam sesi tanya jawab, delegasi Singapore mengajukan pertanyaan yang cukup menggelitik: Apa pendapat Anda bertiga sebagai narasumber, mengenai “terpisahnya” (divorce) kebaya dari kain batik/sarung/tenun/songket dan lain kain? Maksudnya bila kebaya tidak dipakai dengan kain bawahan tetapi dipakai dengan pakaian bawahan lain, bagaimana?
Jawabannya kami bertiga sepakat seperti yang diuraikan di atas, jika yang dimaksud adalah kebaya tradisional untuk tradisi maka harus konsisten dengan pakem. Namun jika bukan untuk tradisi, dan untuk fashion item maka kreativitas bisa tanpa batas.
Satu lagi pesan yang perlu kita renungkan dari acara yang meriah ini, bahwa kita jangan hanya melakukan selebrasi atau perayaan di permukaan saja untuk kalangan tertentu, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana menjalankan program edukasi ke masyarakat yang lebih luas secara egaliter tanpa sekat-sekat sosial, agama, atau etnis, agar kita terus menjaga budaya warisan leluhur tetap hidup dan menghidupkan.
Ayo mari kita gaungkan kembali tradisi berkebaya sebagai busana sehari-hari.
Salam kebaya!
No Comments