30 Jul Makna Dibalik Ketupat Lebaran
Penulis : Dewi Suspaningrum
Menjelang hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha, biasanya sudah banyak pedagang yang menjajakan cangkang ketupat di mana-mana. Tentu harga yang ditawarkan tiap pedagang berbeda-beda. Semakin mendekati lebaran, maka harga satu buah cangkang ketupat bisa menjadi lebih mahal. Bentuk ketupat biasanya dibuat persegi enam dengan berbahan daun kelapa yang masih putih warnanya atau yang muda. Bahan yang sama untuk pembuatan janur kalau kita punya hajatan baik nikahan atau pesta sunatan maupun kumpul keluarga besar.
Bagi beberapa orang, memasak ketupat bisa menjadi hal yang sangat sulit, dan perlu kesabaran karena lama merebus beras untuk menjadi ketupat. Jadi sebagai alternatifnya adalah memilih membeli ketupat yang sudah jadi biar tinggal langsung disantap.
Namun sejatinya dalam bentuk ketupat yang sederhana ternyata memiliki filosofi yang tinggi. Ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga pada masyarakat Jawa. Seorang anggota dari wali sanga yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Di dalam penyebarannya, Sunan Kalijaga membudayakan istilah yang dikenal dengan Bakda. Bakda sendiri memiliki arti “setelah”. Ada dua buah Bakda yang dibudayakan, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat.
Bakda Lebaran adalah saat Hari Raya Idul fitri atau lebaran Idul Adha, di mana seluruh umat Islam diharamkan untuk berpuasa. Sedangkan Bakda Kupat adalah hari raya bagi orang yang melaksanakan puasa Syawal selama enam hari.
Kupat sendiri merupakan singkatan dari frasa dalam bahasa jawa “ngaku lepat” yang artinya mengakui kesalahan diri pribadi. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa kupat merupakan singkatan dari “laku papat” atau empat tindakan.
Tradisi sungkeman yang sering dilakukan masyarakat Jawa, menjadi implementasi dari “ngaku lepat” bagi masyarakat Jawa. Prosesi sungkeman, dilakukan dengan bersimpuh di hadapan orang tua atau orang yang lebih tua atau orang yang dituakan atau pini sepuh, sambil meminta maaf atas berbagai kesalahan yang terbuatakan dulu.
Hingga saat ini, tradisi sungkeman masih membudaya di kalangan masyarakat suku Jawa. Tradisi sungkeman mengajarkan pentingnya kita yang muda bisa menghormati orang tua, dan bersikap rendah hati, serta meminta keikhlasan serta ampunan dari orang tua.
Sementara Laku papat merupakan empat tindakan yang ada pada momen lebaran itu sendiri. Empat tindakan tersebut adalah Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan. Lebaran memiliki makna “usai” yang menandakan berakhirnya watu berpuasa. “Lebaran” berasal dari kata “lebar” yang berarti “pintu ampunan yang terbuka lebar”.
Sedangkan “Luberan” memiliki makna “meluber atau melimpah”. Sebagai simbol ajaran untuk selalu bersedekah kepada mereka yang papa dan lebih membutuhkan. “Leburan” sendiri memiliki makna habis dan melebur. Artinya, pada momen lebaran adalah hari peleburan semua dosa dan kesalahan. Dengan meminta maaf semua dosa melebur habis, karena setiap umat Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. Terakhir adalah “Laburan” yang berasal dari kata “labur” atau “kapur”. Kapur adalah zat yang biasa digunakan sebagai penjernih air maupun pemutih dinding. Kata tersebut bermakna agar manusia selalu menjaga kesucian, baik secara lahir maupun batin, antara sesama manusia.
Nah, ternyata ketupat makanan khas Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha ternyata sarat falsafah untuk membimbing dan menuntun kita dari generasi ke genarasi. Semoga semua dosa kita lebur dalam perayaan lebaran. Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Jakarta, Dee , 30072020
End-
No Comments