15 Dec OLEH-OLEH DARI BINCANG SANTAI WBTB NASIONAL MENUJU ICH UNESCO
Penulis: Indiah Marsaban
Banyak sekali insights yang saya peroleh dari Acara “Bincang Santai WBTb Indonesia menuju ICH dengan tema: Diplomasi Indonesia melalui Konvensi UNESCO 2003: Perlindungan Warisan Budaya Tak-benda”.
Acara ini diadakan oleh Kemendikbudristek pada tanggal 8 Desember 2022, secara hybrid baik daring maupun luring, sebagai upaya memasyarakatkan pengetahuan tentang Warisan Budaya Tak-benda (WBTb) yang belum banyak diketahui masyarakat, termasuk saya yang ingin tahu apa dan bagaimana WBTb itu? Peserta yang hadir terdiri dari berbagai komunitas budaya, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya UI, wartawan dan undangan lain.
Narasumber pada acara “bincang santai” ini sesungguhnya tak bisa dikategorikan “santai” karena mereka orang-orang yang sangat pakar dalam bidang masing-masing. Ada Dr. Miranda Risang Ayu Palar, pakar hukum kekayaan Intelektual dan kekayaan budaya, ada Prof. Ismunandar, Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO yang langsung bergabung dari Paris, ada Ibu Penny Dewi Herasati, Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kemenlu, kemudian ada Dr. Bondan Kanumoyoso, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, UI dan sebagai “host” adalah Ibu Irini Dewi Wanti, Direktur Perlindungan Kebudayaan, Kemendikbudristek dan moderator Bapak Basuki Teguh Yuwono, Tim Ahli Warisan Budaya Tak-benda.
Boleh dibilang para pembicara ini sudah menjadi satu “tim” karena dalam beberapa event lain mereka sering bersama-sama menjadi narasumber untuk forum diskusi dan FGD yang pernah saya hadiri juga. Meskipun berulang, saya tak pernah bosan mendengar penjelasan mereka tentang WBTb dari aspek hukum kekayaan intelektual, dari aspek konvensi UNESCO 2003, dari aspek strategi nominasi elemen budaya ke UNESCO dan banyak aspek WBTb lainnya. Dengan durasi 3 jam pun saya masih betah menyimak karena banyak pengetahuan yang menjadi “pencerahan” bagi saya.
Namun suasana menjadi “lucu” pada sesi tanya-jawab, karena terdapat salah satu mahasiswa FIB UI, yang mengajukan pertanyaan mengenai “klaim” negara lain terhadap kesenian Reog Ponorogo. Pertanyaannya adalah: “Apa strategi atau upaya Indonesia untuk mengcounter ‘klaim’ dari negeri sebelah, khususnya untuk kesenian Reog?” “Bagaimana kita memperingatkan negara itu agar tidak lagi melakukan klaim atas budaya kita yang sudah didaftarkan ke UNESCO?” lanjut sang mahasiswa.
Waduh, si mahasiswa semester 5 jurusan Sastra Jawa tersebut, rupanya tidak cermat menyimak pemaparan dari Ibu Miranda, Ibu Penny dan Prof. Ismunandar.
Padahal di awal penjelasannya, Ibu Miranda sudah menegaskan bahwa pencatatan di UNESCO bukan terkait hak paten atau hak kepemilikan suatu budaya. Pemahaman yang paling mendasar itu pun, masih banyak yang belum mengerti. Mungkin memang harus sering-sering disosialiasikan untuk meluruskan salah persepsi di masyarakat mengenai makna pencatatan di UNESCO. Bolak-balik harus ditegaskan bahwa UNESCO tidak ada hubungannya dengan hak eksklusif, atau asal-usul (origin) suatu elemen budaya dari suatu negara, sehingga tidak relevan jika mempersoalkan “klaim dari negeri sebelah”. Justru sebaliknya, dengan diinskripsikan di UNESCO, suatu budaya menjadi inklusif dengan semangat kolaborasi untuk “berbagi budaya” sebagai kontribusi untuk kekayaan kebudayaan dunia.
Ibu Penny dari Kemenlu juga sudah menjelaskan isi Konvensi UNESCO 2003, dan nampaknya Bu Penny menjadi ”gemes” terhadap pertanyaan si mahasiswa itu. Sambil senyum-senyum, Ibu Penny meminta sang mahasiswa untuk lebih giat lagi mencari tahu dan memahami konteks pencatatan suatu budaya di UNESCO, yang intinya adalah pelestarian suatu budaya dan bukan soal “klaim-klaim”an sebagaimana juga telah ditegaskan oleh Prof Ismunandar..
Mengenai kesenian Reog, Ibu Irini pun menambahkan bahwa dalam kesempatan kunjungan kerja ke Desa Langkat, Kecamatan Selesei di Pegunungan Bukit Barisan, Ibu Irini menemukan komunitas di daerah itu yang melestarikan kesenian Reog padahal mereka jauh dari Ponorogo, Jawa Timur. Ini sebagai contoh bahwa budaya itu bersifat cair dan bisa “mengalir” ke wilayah geografis lain. Demikian juga di Brunei, Ibu Irini menemukan perempuan di Brunei mengenal kebaya yang disebut sebagai Kebaya Bandung yang mungkin dipengaruhi oleh kebaya dari daerah Jawa Barat. Di Malaysia juga mengenal kebaya model kutubaru yang disebut mereka sebagai kebaya Jawa dan ini mungkin saja dipengaruhi oleh pendatang dari Jawa yang membawa budaya kebayanya ke Malaysia.
Apa artinya ini? Suatu budaya tidak bisa diklaim secara eksklusif “milik” negara tertentu karena suatu elemen budaya bisa merupakan “shared culture” dan “shared heritage” yakni sebagai warisan budaya bersama yang dapat ‘hidup’ di wilayah lain atau di negara lain. Pemahaman ini perlu terus menerus disosialisasikan lebih luas agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Masih berlanjut dalam sesi tanya jawab, ada ‘suara’ dari Persatuan Insan Kolintang Nasional Indonesia (PINKAN) yang diwakili oleh Ketua Umumnya, Ibu Penny Iriana Marsetio (namanya kebetulan mirip dengan ibu Penny dari Kemenlu). Ibu Penny Iriana menyampaikan bahwa sejak 2013 PINKAN memproses persiapan nominasi Kolintang ke UNESCO dan melakukan konsultasi tutorial dengan Prof Ismunandar mengenai strategi apa yang dapat dipilih untuk nominasi Kolintang ke UNESCO.
Prof. Ismunandar menyarankan agar Komunitas Kolintang sebagai pewaris dari budaya Kolintang mengajukan Kolintang melalui strategi extension nomination dengan negara-negara di Afrika yang sudah mencatatkan balafon atau balaphone (alat music yang mirip dengan Kolintang) ke UNESCO. Namun, pihak Komunitas Kolintang di Sulawesi Utara (di mana kolintang lebih popular) keberatan menggunakan strategi extension nomination dengan alasan bahwa akan “merendahkan martabat” Indonesia. Narasi yang muncul: “Masa’ kita di bawah Afrika?”
Nah, lagi-lagi persepsi semacam ini perlu dikoreksi. Dalam konteks UNESCO, tidak ada negara yang lebih “tinggi” atau lebih “rendah” karena setiap negara anggota adalah setara dalam bingkai semangat kolaborasi. Demikian pula budaya, tidak ada budaya yang lebih unggul atau semacamnya. Maka tidak seharusnya muncul sentimen negatif seperti itu.
Budaya itu terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakatnya dan apabila ada suatu budaya yang mulai ditinggalkan, apakah perlu upaya perlindungan (safeguarding) untuk menjaga kelestariannya? Dalam pemaparannya, Dr. Bondan, Dekan FIB UI membagi budaya menjadi dua: tradisional dan kontemporer. Dengan berkembangnya masyarakat, budaya yang kontemporer tentu tidak bisa dibendung, mengikuti tuntutan dari generasi yang menjalankan budaya tersebut. Namun budaya tradisional tetap perlu diberi ruang agar kita dapat memahami jejak dan akar budaya yang diturunkan oleh para leluhur termasuk nilai-nilai kemanusiaan luhur yang melekat pada budaya itu.
Lalu bagaimana upaya melestarikan suatu budaya yang dianggap memiliki nilai luhur? Salah satu caranya adalah dengan mencatatkannya sebagai warisan budaya tak-benda (WbTb) di tingkat nasional yang didukung kajian akademis dan dokumentasi yang lengkap mengenai sejarah, ritual, praktik, nilai-nilai dan aspek lain yang terkandung dalam budaya tersebut. Siapa atau pihak mana yang bisa mengajukan suatu budaya sebagai WBTb Nasional?
Menurut Ibu Irini (Direktur Perlindungan Kebudayaan), yang bisa menominasikan suatu elemen budaya menjadi WBTb nasional adalah para pewaris dari budaya tersebut. Yang dimaksud pewaris adalah pihak yang mempunyai seorang “maestro” atau “empu” yang ahli, yang telah mewariskan budaya tersebut minimal satu generasi ke bawah dan dihidupkan serta dilestarikan oleh komunitasnya.
Apakah suatu komunitas bisa mengajukan nominasi WBTb nasional? Bisa saja, jika komunitas itu sudah memenuhi syarat: terdapat “maestro” (empu) yang mewariskan budaya itu kepada generasi penerusnya dan berarti keberadaan komunitas itu telah mencapai minimal 25-35 tahun.
Demikian catatan oleh-oleh dari “Bincang Santai WBTb Indonesia menuju ICH (Intangible Cultural Heritage) UNESCO”. Semoga bisa menjadi sekelumit kontribusi untuk lebih memahami isu WBTb Nasional dan kaitannya dengan UNESCO.
Salam budaya!
Rahayu, Rahayu, Rahayu!
No Comments