Romantisme  Kolonial  Toko Oen Semarang

Oleh Atie Nitiasmoro

Bangunan Hindia Belanda bercat putih yang  kokoh dan  terawat  di jalan Pemuda Semarang ini, bisa dibilang seperti museum yang penuh barang kuno bersejarah, foto-foto  dan kliping koran jadul yang dibingkai.  Hanya   bedanya disini, kita bisa sekaligus menikmati aneka es krim, kue-kue dan makanan berat yang lezat yang konsisten diracik dari resep kuno puluhan tahun silam, perpaduan  cita rasa bumbu Eropa, Jawa, dan sedikit Tionghoa.

Begitu kaki melangkah masuk ke dalam Toko Oen resto legendaris yang sudah berkiprah selama 85 tahun,  romantisme masa lalu langsung menyergap dengan interior bernuansa kolonial. Atap ruangan yang tinggi, pintu dan jendela  tinggi serta lebar, khas bangunan Indische. Kursi-kursi rotan dengan meja bulat untuk menikmati penganan.

Aroma wangi  kue yang baru keluar dari panggangan, es krim  dan toples toples besar berisi kue kering serta etalase aneka cake dan roti begitu menggoda. Seperti berebut perhatian dengan berbagai pernak pernik yang tertata rapi. Akhirnya saya memutuskan memesan dulu secangkir teh panas, poffertjes dan es krim Tutti Frutty. Sambil menunggu pesanan datang, berkelilinglah saya menikmati berbagai benda bersejarah.

Saya langsung melihat mesin penyimpan sekaligus penghitung uang koin bernama Guldens Cents. Anak  saya Abishai Sahadeva.  antusias memperhatikan dan menarik tuasnya dengan hati-hati. Jam besar di salah satu sudut dekat jendela, mengingatkan saya pada rumah masa kecil di Jember dan Tuban, ketika suara jam berdentang tengah malam dikala susah tidur, membuat suasana sedikit gimanaaa……….gitu.

Berbagai foto dan kliping koran lawas baik lokal maupun Belanda mengenai Toko Oen memenuhi sebagian dinding resto yang ditata artistik oleh Jenny penerus bisnis keluarga yang juga seorang arsitek. Kita bisa melihat foto kota lama Semarang, foto pendiri Toko Oen. Berita  mengenai Toko Oen oleh koran2 Belanda saat  berjualan di Denhaag Belanda yang laris manis.

Jenny, pemilik yang merupakan generasi ketiga Toko Oen

“Bagi kami merawat Toko Oen bukan hanya upaya untuk melanggengkan bisnis keluarga, tapi juga mengawetkan kenangan dan  sejarah masa lalu agar tidak mati,” ungkap Jenny kepada Berita Kenari di satu pagi. Pilihan mempertahankan orisinalitas Toko Oen dilakukan setelah melalui pergulatan panjang di tahun 1980-an awal modernitas dan resto cepat saji dengan cepat mendapat banyak pelanggan di berbagai kalangan.

“Saat itu memang agak berat pilihannya namun akhirnya kami memutuskan mempertahankan orisinalitas Toko Oen sebagai warisan keluarga, tentu dengan berbagai konsekuensi yang harus diterima,” papar Jenny lagi.

Kini managemen Toko Oen dipegang oleh Alexandra & Alexandro, generasi ke 4,putra putri Jenny. Ditangan mereka, modernisasi penjualan dilakukan seperti membuka outlet di Mall khusus untuk es krim dan kue-kue, penjualan melalui online dan media sosial yang sekarang menjadi keharusan. Membuat berbagai kue & makanan masa kini tetapi tetap dipadu dengan resep kuno warisan keluarga. Karena itu Jenny optimis bisa menggenjot bisnisnya dan meraup pasar anak milenial.

Foto: Instagram @tokooen

Toko Oen sekarang juga membuka kedai es krim  di Kawasan Kota Lama Semarang Jalan Empu Tantular, berkolaborasi dengan  Gabungan Koperasi Batik Indonesia {GKBI}. Bertempat di gedung tua yang eksotis milik GKBI bertemakan Oud En Niew yang memiliki arti,  Kuno, Kini & Nanti. “Sejarah tidak untuk dilupakan tetapi dipertahankan,” ungkap Jenny yang juga aktif di Semarang Foundation. Pemilihan tempat d kawasan kota lama juga untuk menyelamatkan bangunan dan kawasan tersebut yang jarang dilirik masyarakat.

Selama ini  pelanggannya kebanyakan orang-orang tua. Namun ada juga para cucu yang dulu  kakek atau neneknya sering makan di Toko Oen. Bermula dari membaca buku harian mereka dan seringnya nama Toko Oen disebut, keluarga ini datang ke Toko Oen untuk merasakan suasana & makanan tempat kakek neneknya bersantap dan hangout dan akhirya mereka menjadi pelanggan tetap.

Toko Oen  berawal dari Yogyakarta. Awalnya, sang pendiri, Liem Gien Nio, menjual kue kering sekitar tahun 1910. Nama Oen diambil dari nama suami Liem, yaitu Oen Tjoen Hok. Pada 1922, Toko Oen mulai menjual menu tambahan berupa es krim, serta masakan Indonesia, China, dan Belanda.

Selanjutnya pada 1934, Toko Oen membuka cabang di Jakarta dan Malang kemudian pada 1936 buka cabang di Semarang. Namun pada 1937, Toko Oen di  Yogyakarta tutup karena anggota keluarga kerepotan mengelolanya. Menyusul  Toko Oen cabang Jakarta tutup pada tahun 1973. Sedangkan, Toko Oen cabang Malang dijual pada tahun 1990 dan dikelola oleh pemilik baru dan tidak ada hubungannya dengan Toko Oen meski tetap memakai nama yang sama. Sebelumnya Toko Oen Malang akan dibuat bengkel mobil oleh pembelinya, namun dilarang oleh Pemda setempat karena bangunan tersebut merupakan cagar budaya.

Atie@kenariguesthouse.com

 

 

Bagaimana menurut Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0
+1
1
+1
0
Atie Nitiasmoro
Atie Nitiasmoro
atie@kenariguesthouse.com
No Comments

Post A Comment