SANDANG PARA NYONYA

Penulis : Rini Kusumawati, Pegiat Budaya

 “Kebaya dalam segala tafsir atas keindahannya, adalah sandang yang sesungguhnya menyimbolkan pertukaran ide dan rasa di wilayah yang kelak menjadi Indonesia semenjak abad 15 M” (Rumi Siddharta, IG Feed, 22 Februari 2023)

Petikan di atas saya kutip dari IG Feed Om Rumi. Ketika saya membacanya saya tertarik untuk mengikuti kelas yang diadakannya. Om Rumi melihat bahwa kebaya merupakan sebuah bentuk akulturasi budaya yang terjadi di wilayah Nusantara pada masa lampau. Dalam kelas “Sandang para Nyonya”, tidak saja saya belajar tentang berbagai bentuk model kebaya, namun juga belajar tentang sejarah dan situasi sosial politik yang mengiringi perkembangan kebaya di bumi Nusantara.

Om Rumi mengawali kelas dengan mengutip salah satu teks berita negeri Tiongkok pada abad ke-6 Masehi yang menyebutkan tentang sebuah negeri yang terletak di samudera selatan (Tarumanegara). Dalam berita tersebut disebutkan bahwa penduduk di wilayah tersebut mengenakan kain katun untuk menutup bagian bawah tubuh mereka (dengan cara dililitkan), sedangkan bagian atas dibiarkan terbuka. Kain yang dipakai sebagai penutup bagian bawah tubuh adalah kain tenun yang diproduksi oleh penduduk era Jawa Kuno (disebutkan juga oleh Maziyah, 2022). Oleh karenanya Oom Rumi berpendapat bahwa kain tenun merupakan produk asli Indonesia (Jawa Kuno).

Selain dari berita Cina, Oom Rumi juga mendapatkan data tentang pakaian yang dikenakan oleh masyarakat Nusantara Kuno dari berbagai gambar relief di candi-candi di Jawa. Dia menyebutkan bahwa berdasarkan gambar-gambar relief candi terlihat bahwa pakaian penutup tubuh atas dikenakan oleh para dewa dan dewi serta oleh para kaum aristokrat. Meskipun tidak terlalu yakin, dia mengungkapkan bahwa bisa jadi pakaian penutup tubuh atas adalah juga merupakan penanda status sosial.

Maju ke abad ke-16 dan ke-17. Ditampilkan beberapa gambar yang berasal dari catatan perjalanan  John Nieuhoff  di wilayah Hindia Belanda pada tahun 1653 yang terangkum dalam buku Collection of Voyages and Travel yang disusun oleh Wisham Churchill, John Churchill dan John Locke (Third edition, 1744-1746).

dalam gambar yang ditampilkan dalam presentasi Om Rumi tersebut terlihat bahwa perempuan Jawa sudah mengenakan baju atasan longgar, sedangkan lelaki masih bertelanjang dada. Baju atasan yang dikenakan oleh para perempuan berbentuk seperti baju kurung berlengan panjang. Selendang juga dikenakan sebagai aksesories.

kemudian Om Rumi menampilkan gambar lain yang menampilkan situasi saat minum teh di keluarga kaya. Nyonya rumah terlihat sedang menerima tamu dan mengenakan kebaya panjang berwarna putih yang dipadukan dengan kain. Sedangkan para asisten rumah tangga terlihat mengenakan baju atasan semacam blouse pendek berlengan panjang dan kain. Sekali lagi, meskipun belum terkonfirmasi, Om Rumi menduga bahwa baju atas yang dipakai oleh perempuan pada masa itu menandai status sosial pemakainya.

Tentang asal-usul kebaya sendiri, Om Rumi menyakini bahwa kebaya yang ada di Indonesia merupakan pengaruh dan adaptasi dari tiga sumber budaya yang masuk Indonesia melalui perdagangan, yaitu Tionghoa, Persia dan India. Pengaruh budaya Tionghoa diadaptasi dari jubah panjang Tionghoa, semacam baju kurung panjang yang tidak membentuk badan, yang disebut sebagai Yuanglingpao.

Awal tahun 1900-an muncul baju yang disebut dengan Baju Peki. Merupakan

adaptasi dari Yuanglingpao namun dengan panjang baju yang lebih pendek, tanpa sulaman. Baju Peki ini yang dia yakini sebagai prototype kebaya encim di Indonesia. Kebaya (encim) pada mulanya polos, tanpa motif. Karenanya bisa dianggap sebagai sebuah kanvas untuk memamerkan perhiasan para nyonya pemakainya. Biasanya kebaya akan dihiasi dengan peniti kerongsang.

Baju Peki (Koleksi Om Rumi)

Setelah dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, dan memotong waktu perjalanan antara Belanda dan Hindia Belanda, banyak perempuan Belanda yang datang dan tinggal di  wilayah Hindia Belanda. Karena cuaca yang panas, mereka kemudian mulai mengadopsi kebaya, pakaian perempuan lokal, dan menambahkan “selera Eropa” pada kebaya: warna putih dan renda yang diimport dari Eropa. Kebaya putih berenda tersebut juga sebagai penanda yang membedakan mereka dengan  kebaya perempuan lokal yang biasanya berwarna. Hingga pada tahun 1910, keluar buku yang mengulas tentang tata cara berpakaian bagi para penduduk Eropa di wilayah Hindia Belanda. Perempuan Belanda masih boleh mengenakan kebaya, namun hanya di dalam rumah. menurut keterangan Om Rumi, pada akhirnya di tahun 1920-an, para perempuan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda tidak mengenakan kebaya ketika mereka berada di luar rumah. Pada tahun 1920-1940, rasa nasionalisme Bangsa Indonesia mulai tumbuh dan hal ini mempertajam perbedaan sosial antar berbagai suku bangsa yang hidup di wilayah Hindia Belanda. Kebaya digunakan sebagai penanda dan (bentuk perlawanan) oleh para perempuan lokal.

Kebaya kutubaru merupakan kebaya asli Indonesia dan tidak menyebar ke wilayah lain di Asia. Kebaya model ini ditengarai muncul pada akhir 1920/awal 1930. Ada kemungkinkan kebaya kutubaru muncul dan dipakai oleh rakyat biasa. Baru kemudian dipakai oleh perempuan keraton di acara-acara non-formal. Karena itu jarang ditemukan foto-foto perempuan keraton yang memakai kebaya kutubaru di acara-acara resmi. Karena mereka biasanya masih memakai kebaya panjang untuk acara yang lebih formal.

Kebaya Janggan muncul pada sekitar masa akhir Perang Diponegoro (sekitar 1830-an). Kebaya ini mengadopsi model seragam militer Eropa pada masa itu (terlihat pada bentuk kerahnya yang tinggi dan tidak menutup). Kebaya ini popular dipakai oleh para perempuan keraton ketika bepergian. Sekarang ini, kebaya janggan menjadi salah satu “seragam” dari para abdi dalem keraton.

Kebaya encim pada awalnya berwarna putih. Banyak dipakai oleh para perempuan tionghoa pada tahun 1930-an hingga 1965. Mereka kemudian mulai menghindari memakai kebaya encim karena situasi sosial dan politik di masa 1960-an. Kemudian pada tahun 1980-an, para perempuan Tionghoa mulai memakai kebaya kutubaru supaya bisa diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Namun, diskriminasi tetap terjadi. Akhirnya mereka mulai tidak memakai kebaya sama sekali. Padahal, masih menurut keterangan Om Rumi, kebaya adalah 70% merupakan pengaruh Tionghoa dan 30% merupakan pengaruh Persia/India.

Kebaya pada awalnya tidak membentuk tubuh. Pada tahun 1950-an ketika korset barat mulai popular di Indonesia, potongan kebaya mulai membentuk tubuh. Model Kebaya kutubaru dan kebaya kartini yang membentuk tubuh kemudian dijadikan sebagai busana Indonesia.

Om Rumi menutup kelas dengan mengatakan bahwa Kebaya merupakan symbol nyata bhinneka tunggal ika dan bahwa kebaya merupakan shared heritage masyarakat Asia Tenggara.

Bagaimana menurut Anda tentang artikel ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
1
Avatar
atinitiasmoro
atinitiasmoro@yahoo.co.id
No Comments

Post A Comment