08 May Tahu Campur, Obat Rindu Kampung Halaman
Oleh: Elvy Yusanti
Orang Jawa Timur pasti kenal Tahu Campur yang khas dengan petis dan perkedel singkongkong atau disebut Lentho tapi tanpa Kacang Tolo. Lamongan tepatnya, daerah tempat asal Tahu Campur yang lezat dinikmati saat panas. Di Malang, kampung halaman saya, Tahu Campur seperti makanan kedua setelah Bakso. Ada banyak penjual, dari kelas pinggir jalan sampai restoran.
Di Jakarta, makanan ini termasuk yang dicari. Meski nggak banyak, namun penjual Tahu Campur ada di setiap wilayah ibukota seperti Pasar Minggu, Otista, Arteri Pondok Indah, dan Kemayoran. Dari lokasi itu, menurut saya yang paling pas rasanya yang di Arteri Pondok Indah, di pinggir jalan dekat Bank BRI.
Dua hari lalu saya mencoba bikin dan ternyata nggak susah, dan rasanya mirip. Untuk bisa memasak menu ini, saya sengaja mememesan petis langsung dari Sidoarjo. Sayang, petisnya terlalu enak, seharusnya dioplos dengan petis yang kualitas di bawahnya jadi aroma petisnya nggak terlalu strong.
Bahan Kuah:
Daging/Tetelan/Kikil 500 gram
Bawang putih 10 siung
Bawang Merah 5 siung
1/2 sdm ketumbar
1 sdt merica bubuk
2 cm kencur
2 cm jahe
1 ruas kunyit
1/2 sdt jintan
1 sdm petis
Garam dan Gula
Daun salam, sereh, daun jeruk, lengkuas secukupnya.
Cara membuat:
Haluskan semua bahan tumis sampai harum. Masukkan daging yang telah direbus dan dipotong-potong. Masak hingga daging meresap.
Bahan Perkedel Singkong:
500 gram singkong parut
1 sdt ketumbar
5 siung bawang putih
3 siung bawang merah
1 sm kunyit
1 lembar daun jeruk
Gula dan garam
Haluskan bumbu. Campur dengan singkong parut. Goreng.
Bahan Bumbu Petis:
100 gram petis
1 sdm bawang putih goreng
1 sdt gula pasir
250 ml air
Campur semua bahan, rebus sampai mengental.
Sambal:
Rebus cabe rawit merah. Haluskan. Saya diberi air kuah daging secukupnya.
Isian Tahu Campur adalah mie kuning, Tahu Kuning goreng, Slada, Sambal dan kerupuk.
Suami saya yang bukan orang Jawa Timur suka Tahu Campur. Terkadang dia mampir ke Arteri Pondok Indah memesan untuk dibawa ke rumah sebagai oleh-oleh. Awalnya anak sulung saya kurang suka aroma petisnya. Tapi lama kelamaan mau makan meskipun dagingnya disisihkan karena dia nggak suka yang berlemak.
Beberapa teman saya membuka usaha makanan tradisional dari tanah kelahirannya. Ada yang berjualan makanan Sulawesi seperti Es Pisang Ijo dan Jalangkote. Dari Manado jualan Balapis, Panada, dan Klappertart. Di tengah geliat usaha kuliner di ibukota, makanan tradisional cukup menjual karena mengobati kerinduan pada makanan daerah asal.
Selain itu, juga ada unsur idealisme bagi para penjualnya, mempertahankan makanan Indonesia di tengah gempuran makanan import. Oiya satu lagi, memperkenalkan pada generasi now, bahwa makanan Indonesia nggak kalah lezat dibanding makanan asal luar negeri. Mari menjaga tradisi dengan menyajikan menu tradisional dari dapur rumah kita. Tidak harus yang sulit membuatnya, sekadar mengenalkan kepada anak-anak meskipun awalnya mereka tidak suka.
No Comments